Masjid Bersejarah di Indonesia – Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Bersejarah di Indonesia – Masjid Raya Baiturrahman

Negara Indonesia adalah Negara dengan penduduk dengan mayoritas pemeluk Muslim terbanyak di dunia. Hal tersebut dikarenakan penyebaran agama Islam di Indonesia ini memiliki sejarah yang cukup panjang di masa lalu. Perkembangan Islam di Indonesia juga memicu banyaknya Masjid Bersejarah di Indonesia dan beberapa diantaranya ada berusia ratusan tahun.

Menurut catatan sejarah, diperkirakan agama Islam dibawa masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Bahkan ada pendapat lain yang mengatakan Islam telah masuk Nusantara sejak abad ke-8, karena ditemukannya perkampungan Muslim di dekat Selat Malaka. Selat Malaka pada saat itu menjadi tempat perdagangan yang ramai disinggahi oleh pedagang dari pelosok dunia.

Masjid Bersejarah di Indonesia

Adapun daerah pertama yang menerima kedatangan Islam di Indonesia yakni di bumi Nanggroe Aceh Darussalam, tepatnya di Pasai, Aceh Utara, dan Peurelak, Aceh Timur. Menurut dosen ilmu sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Suprayitno, mengacu pada seminar tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, disimpulkan bahwa Islam datang langsung dari Arab pada awal awal abad pertama Hijriah atau sekitar abad ke-7 Masehi.

Berdasarkan beberapa referensi para ilmuwan, tercatat sebanyak 300 prasasti Islam yang mengungkapkan secara singkat, tokoh lelaki maupun perempuan yang pernah menjadi pelaku ataupun saksi dalam peristiwa perubahan budaya di Aceh.

Peta sebaran dalam prasasti Islam tersebut menunjukkan kepada tiga kawasan utama, yakni bagian Utara Sumatera (Aceh dan Aru), Semenanjung Tanah Melayu (dua pusatnya di Johor dan Patani), Brunei dan Kepulauan Sulu. Berdasarkan temuan di Kuta Lubhok, terutama batu nisan tipe Plak Plieng yang bertanggal 1007 Masehi, maka Tapak Kuta Lubhok menempati posisi penting dalam kajian awal Islam di Indonesia melalui pulau Sumatera.

Jejak Sejarah Masjid Raya Baiturrahman: Dari Awal Hingga Kini

Menurut ensiklopedi Islam Indonesia (1992: 162-163), Masjid Raya Baiturrahman didirikan pada tahun 691 H/1292M, di masa Sultan Alaidin Mahmud Syah I. Namun, pendapat ini tidak memiliki rujukan yang kuat kepada data primer dan tidak cukup kuat untuk dijadikan dasar pegangan.

Tidak adanya informasi yang bisa dijadikan rujukan tentang pendirian masjid ini, maka kita hanya bisa berasumsi bahwa raja-raja di Aceh dulu telah mengadopsi sistem pemerintahan Islam yang berkembang kala itu karena memakai gelar sultan, gelar dalam dunia Muslim.

Fakta di atas mengantarkan pemikiran kita untuk membenarkan, bahwa di masa lalu di Aceh telah didirikan sebuah masjid induk. Namun tidak dapat dipastikan juga, bahwa masjid itu dibangun persis di lokasi Masjid Raya Baiturrahman yang berdiri sekarang, dan tidak dapat dipastikan pula, bahwa masjid tersebut diberi nama Masjid Raya Baiturrahman.

Dalam beberapa catatan tentang masjid juga tidak ditemukan di masa berkuasanya Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1529 M). Padahal pada waktu itu telah terjadi penyatuan kerajaan Darud Donya dengan Meukuta Alam. (Amirul Hadi, 2004:13). Tentunya Islam telah lebih luas dianut oleh masyarakat aceh pada masa itu.

Walapun catatan sejarah Aceh sejak masa sekarang bisa dengan mudah dirujuk dan dirunut dengan jelas, namun tetap saja, catatan mengenai awal keberadaan Masjid Raya Baiturrahman belum bisa ditemukan. Maka sejarah tentang masjid ini yang dididrikan sebelum masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Tahun Berdiri Masjid Raya Versi Kitab Bustanussalatin

Dari semua bukti catatan yang ada, ada satu keterangan dari kitab Bustanussalatin (T. Iskandar, 1966: 35-36) dan Hikayat Aceh (T. Iskandar, 1986: 176) yang dapat dipertanggung jawabkan. Informasi dalam karya tersebut menyatakan bahwa pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M. Maka dari itu, dari informasi ini menyatakan bahwa Masjid Raya Baiturrahman didirikan pada tahun 1614 pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Menurut beberapa sumber, Sultan Iskandar Muda bukan hanya membangun Masjid Raya Baiturrahman saja, namun membangun bersama beberapa masjid lainnya. Bustanussalatin menginformasikan:

“Tatkala hijrah seribu empat puluh lima tahun…, ialah yang berbuat Masjid Baiturrahman dan beberapa masjid pada tiap-tiap manzil. Dan ialah yang mengeraskan agama Islam dan menyuruh segala rakyat shalat lima waktu, dan puasa Ramadhan, dan puasa sunnah, dan menegahkan sekalian mereka itu minum arak, dan berjudi. Dan ialah yang membaiatkan bayt al-mal, dan ‘ushur (perangkat pemerintahan) negeri Aceh Darussalam, dan cukai pekan. Dan ialah yang sangat murah kurnianya akan segala rakyatnya, dan mengaruniai sedekah akan segala fakir dan miskin pada tiap-tiap berangkat shalat Jumat (T. Iskandar, 1996: 387).”

Tahun Berdiri Masjid Raya Versi Snouck Hurgronje

Catatatan informasi tentang pendirian beberapa masjid oleh Sultan Iskandar Muda juga direkam oleh Snouck Hurgronje: Bahwa oleh masyarakat Aceh, semua masjid yang didirikan oleh Iskandar Muda itu disebut meuseujid raya, baik karena luas/besar bangunannya, sebagai tempat ibadah utama, atau karena dibangun oleh Raja. (Snouck Hurgronje, 1996: 64). Arsitektur dari semua masjid yang didirikannya juga memiliki arsitektur yang serupa, yaitu desain arsitektur atap bertingkat.

Selain masjid Raya Baiturrahman, Snouck mencatat bahwa di kawasan Aceh Besar terdapat tiga masjid yang juga dibangun oleh  Sultan Iskandar Muda, yaitu Masjid Indra Patra (Mukim XXVIJ), Masjid Indra Puri (Mukim XXII), dan Masjid Indra Purwa (Mukim XXV). Menurut beberapa sumber, ketiga masjid tersebut dibangun di atas reruntuhan candi. Jejak candi ini dapat dilihat pada pondasi Masjid Indra Puri yang masih tegak sampai sekarang. Sedangkan Masjid Indra Purwa telah dipindahkan dari lokasi asalnya yang dikikis abrasi, lalu hancur karena gempa dan gelombang tsunami 2004 lalu.

Adapun Indra Patra, tidak tampak lagi tanda-tanda ada pendirian masjid di atasnya, yang tinggal hanya bekas-bekas bangunan purbakala yang sebagiannya masih tegak berdiri. Namun perlu dicatat, bahwa empat orang ahli sejarah Aceh telah meneliti tempat ini, Dr. T. Iskandar, H. M. Zainuddin, M. Junus Djamil dan A. K. Abdullah. Menurut para ahli tersebut, tidak ditemukan ada bekas candi atau bekas masjid di sini, bangunan ini diduga sebagai bekas gudang sejata atau benteng pada jaman kolonial.

Masjid lain yang dikabarkan dibangun oleh Sultan Iskandar Muda dan di antaranya dicatat oleh Snouck Hurgronje terdapat di wilayah Kabupaten Pidie, yaitu Masjid Labuy. Hal ini menuntut penelusuran lebih jauh, karena beberapa masjid tua di Pidie menunjukkan arsitektur yang identik dengan masjid yang dibangun di masa itu.

Bentuk Bangunan Asli Masjid

Tentang bentuk bangunannya, ada beberapa versi yang berkembang. Beberapa pendatang asing misalnya, ada yang menggambarkan Masjid Raya Baiturrahman sebagai bangunan berkonstruksi beton dan berkubah bundar. Namun pendatang asing lainnya menampilkan hal yang berbeda, yaitu sketsa Masjid Raya Baiturrahman dalam konstruksi kayu dan beratap lapis tiga atau empat tingkat.

Masjid Bersejarah di Indonesia
Source : Wikimedia – Sketsa Peter Mundy

Dari berbagai informasi itu, dapat disimpulkan bahwa bentuk asli dari Masjid Raya Baiturrahman adalah sebangun dengan Masjid Indra Puri. Hal itu bisa dibuktikan ketika melihat desain Masjid Indra Puri karena Masjid Indra Puri masih bisa disaksikan sampai hari ini sebagai masjid yang masa pembangunannya hampir bersamaan dengan Masjid Raya Baiturrahman sebagai masjid induk, atau masjid kerajaan pada saat itu. Beberapa sumber menyebut, Masjid Indra Puri ini didirikan pada tahun 1618 M.

Sumber gambar yang memiliki gambaran yang paling dekat dengan bentuk sebenarnya adalah sketsa yang dibuat oleh Peter Mundy. (Denys Lombard, 1986: 364). Sketsa dari Peter Mundy ini dibuat berdasarkan amatannya ketika ia mengunjungi Aceh. Bahkan, la sempat menyaksikan arak-arakan masyarakat Aceh yang dicatatnya tertanggal 26 April 1637 M.Masjid Bersejarah di Indonesia

Masjid Bersejarah di Indonesia
Source : Wikimedia – Sketsa Peter Mundy

Menurut Denys Lombard, tanggal ini salah karena Peter Mundy mengikuti penanggalan Julius. Masih menurut Lombard, penganggalan yang benar adalah 26 Mei 1637 M berdasarkan penanggalan Gregorius, bertepatan dengan 10 Zulhijjah 1046 H, (Denys Lombard, 1986: 199). Arak-arakan yang disaksikan oleh Peter Mundy adalah arak-arakan dalam rangka pelaksanan ibadah Qurban menyambut hari raya Idul Adha di bulan Zulhijjah 1046 H. Sultan yang berkuasa pada masa ini adalah Sultan Iskandar Thani, Sultan yang melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya inilah, muncul seorang ulama besar yang bernama Nuruddin ar-Raniri yang juga penulis Bustanussalatin.

Adapun versi lain yang juga membuat perhitungan berdasar penanggalan Gregorius, bahwa tanggal itu jatuh pada bulan Muharram 1046 H. Jadi, arak-arakan itu diselengarakan menyambut bulan Muharram, atau syahidnya Sayyidina Husein. Mungkin hal ini bisa saja benar atau salah, tetapi yang jelas sketsa dari Peter Mundy tentang Masjid Raya Baiturrahman memberi gambaran tentang bentuk fisik bangunan Masjid Raya Baiturrahman pada masa itu.

Informasi lain tentang bentuk fisik Masjid Raya Baiturrahman dapat kita peroleh dari Bustanussalatin:

“Ada dalam negeri itu sebuah masjid terlalu besar dan terlalu tinggi kemuncaknya dari pada perak yang berapit dengan cermin balur. Maka ada segala orang yang sembahyang dalamnya terlalu banyak. Maka pada penglihat kami diperhamba yang mengatasi banyak orang sembahyang dari pada dalam masjid itu hanya dalam masjid yang dalam Haram Mekah Allah yang mulia itu jua. Maka masjid yang dalam segala negeri yang lain tiada ada seperti dalam masjid itu… Maka ada luas masjid itu seyojana mata memandang dan ada mimbarnya dari pada mas dan kemuncak mimbar itu dari pada suasa. Maka ada disebutkan orang pada puji-pujian dari mulut orang banyak: ‘Sayyidina Sultan Perkasa‘Alam Johan berdaulat shahib al-barrayn wa al-bahrayn’, ya’ni tuan kami Sultan Perkasa ‘Alam yang mengempukan dua darat dan dua laut ya’ni darat dan laut masyrik-maghrib.”

Dulu di masa sultan Iskandar Muda, Masjid Raya selain untuk sholat, juga dipakai sebagai tempat diselengarakannya berbagai upacara keagamaan dan peringatan hari-hari besar Islam lainnya. Seperti menyantuni rakyat di saat meugang menyambut Ramadhan, atau saat meugang hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), Malam Lailatul Qadar (i‘tikaf), Qurban, tempat pengkajian agama, dan lain-lain.

Bentuk Asli Masjid Raya Baiturrahman sebagaimana yang digambarkan di dalam Bustanussalatin telah terbakar di masa pemerintahan Sultanah Nurul ‘Alam Naqiatuddin Syah (1675-1678 M). Kala itu terjadi berbagai pergolakan yang dipicu oleh kaum wujudiyyah. Saat itu mereka menyatakan sikapnya terkait dengan sah atau tidaknya kepemimpinan perempuan. Pergolakan oleh kaum wujudiyyah ini menimbulkan kepanikan dan berakibat terbakarnya masjid dan istana.

Mengingat keberadaan Masjid Raya Baiturrahman sebagai masjid induk, oleh karena itu masjid ini segera dibangun kembali oleh Sultanah Nurul ‘Alam. Peristiwa pergolakan tersebut diperkirakan terjadi dalam tahun 1677 M, tak lama kemudian Sultanah Nurul ‘Alam mangkat pada tahun 1678, (M. Yunus Jamil, 1968: 47). Lalu pembangunan masjid ini diteruskan oleh Sultanah Zakiyyat al-Din (1678-1688 M).

Mengenai bentuk fisik asli masjid yang dibangun setelah kebakaran besar itu tidak diperoleh keterangan yang jelas. Dari buku Ali Hasjmy diperoleh gambaran sebuah sketsa yang dibuat berdasarkan penuturan Teungku Syekh Ibrahim Lambhuk, (A. Hasjmy, 1977: 193).

Masjid Bersejarah di Indonesia
Source : Dok. Lembaga Aceh

Sketsa ini memperlihatkan bentuk arsitektur masjid yang berbeda dari bentuk masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda, (bandingkan dengan gambar dalam sketsa Peter Mundy). Masjid yang dibangun oleh Sultanah inilah yang kemudian kembali terjadi pembakaran oleh belanda dalam masa perang Kolonial Belanda di Aceh.

Masjid Raya di Masa Kolonial Belanda

Inilah mengapa Masjid Raya Baiturrahman termasuk masjid bersejarah di indonesia. Di masa perang Kolonial Belanda di wilayah Aceh, Masjid Raya Baiturrahman kerap menjadi benteng pertahanan para mujahid perang Aceh. Dalam agresinya yang pertama pihak Belanda sempat menguasai Masjid Raya Baiturrahman dalam beberapa waktu. Tak berselang lama masjid ini berhasil direbut kembali oleh para pejuang Aceh di bawah pimpinan Teungku Imum Lueng Bata. Kegagalan Belanda ini diperparah oleh tewasnya panglima perangnya, yaiut Jenderal Kohler tanggal 14 April 1873 M.

Pihak Belanda memandang Masjid Raya Baiturrahman sebagai simbol kekuatan dan perjuangan rakyat Aceh. Maka pada agresinya yang kedua, mereka memusatkan serangan ke masjid ini sehingga Belanda berhasil merebutnya pada tanggal 6 Januari 1874. Akibat serangan besar-besaran ini, Masjid Raya Baiturrahman hancur, karena Belanda menganggap masjid ini juga pusat pertahanan para pejuang Aceh yang telah merenggut nyawa banyak tentara Belanda, termasuk pemimpin mereka Jenderal J.H.R. Kohler, selain masjid yang telah hancur mereka juga membakar masjid ini, (Rusdi Sufi, dalam Azman Ismail, et al., 2004: 24).

4 tahun setelah peristiwa terbakarnya Masjid Raya Baiturrahman, pada pertengahan bulan Safar 1294 H/awal Maret 1877 M, dengan mengulangi janji Jenderal Van Swieten, Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman. Pernyataan itu diumumkan setelah diadakan permusyawarahan dengan kepala-kepala negeri di sekitar Kuta Raja.

Pihak Belanda berkeinginan mengambil hati rakyat Aceh yang justru menambah semangat perjuangan akibat penghancuran masjid raya. Mereka menyatakan akan menghormati sepenuhnya kemerdekaan beragama rakyat Aceh. Janji ini dilaksanakan oleh Jenderal K. Van der Heyden. Maka dilaksanakanlah peletakan batu pertamanya pada tanggal 9 Oktober 1879.

Mengenai arsitekturnya, pihak Belanda meminta pendapat serta masukan dari seorang ulama di Garut, agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Masjid senilai ƒ 203.000 (Dua Ratus Tiga Ribu Gulden) ini dibangun di bawah pengawasan arsitek Meneer BRUINS dari Departement van Burgelijke Openbare Werken Batavia, dan selesai pada tahun 1881. Pembangunannya dikerjakan oleh seorang letnan Cina bernama Lie A Sie.

Masjid Bersejarah di Indonesia
Source : Tropenmuseum (Pada masa itu, tampak bangunan kubah hanya 1)

Peluasan Masjid dan Pembangunan Kubah Pertama

Saat menjelang selesainya pembangunan masjid, saat itu kubah sedang dikerjakan, kota Banda Aceh dilanda banjir besar yang berimbas air menggenangi sekitar lokasi masjid. Peristiwa banjir ini dianggap sebagai pertanda tertentu oleh sebagian masyarakat dan terjadi pro kontra diantara mereka. Ada sebagian dari mereka menolak kehadiran masjid ini. Mereka beralasan tidak mau menerima karena menurut mereka masjid ini dibangun oleh kaphe (non muslim).

Meskipun ada pro kontra di masyarakat, namun penyerahannya kepada masyarakat tetap direalisasikan. Maka diadakanlah upacara penyerahterimaan Masjid Raya Baiturrahman pada tanggal 27 Desember 1881. Seremoni ini diawali dengan tembakan meriam, dan diakhiri dengan pembacaan do’a. Pengelolaan masjid baru ini diserahkan kepada seorang ulama dari Pidie bernama Teungku Syekh Murhaban. Beliau juga menjadi imam besar Masjid Raya Baiturahman kala itu.

Pada tahun 1936, masjid ini mengalami perluasan dengan biaya sebesar ƒ 35.000 (Tiga Puluh Lima Ribu Gulden) oleh Gubernur Van Aken. Dalam perluasan ini, Masjid Raya Baiturrahman ditambah dua kubah lagi dengan luas 741 m2. Berikutnya masjid ini mengalami renovasi yang dapat diringkas sebagai berikut:

– Perluasan dengan penambahan dua kubah serta dua menara utara-selatan (Surat Keputusan Menteri Agama RI tanggal 31 Oktober 1957). Peletakan batu pertamanya dilaksanakan pada hari Sabtu, 16 Agustus 1958 oleh Menteri Agama yang kala itu dijabat oleh K. H. M. Ilyas. Hasil renovasi ini, luas Masjid Raya Baiturrahman menjadi 1.945 m2 dengan lima kubah.

Masjid Bersejarah di Indonesia
Source : KITLV (Masjid Raya Baiturrahman dengan 3 kubah)

– Pada penyelengaraan MTQ Nasional ke XII Pada tahun 1981, Masjid Raya Baiturrahman diperindah dengan tambahan pelataran, pemasangan klimkers di atas jalan-jalan di perkarangan, interior, sound system, penambahan tempat wudhu, pemasangan pintu kriwang, chondelir dan kaligrafi dari bahan kuningan. Selain itu juga dipasang instalasi air mancur di kolam depan.

– Tahun 1986, Masjid Raya Baiturrahman diperluas menjadi 2240 m2, Selain ruang shalat, juga ditambah ruang para imam dan muazin, ruang tamu, ruang belajar dan pekantoran serta tempat penitipan kendaraan.

– Tahun 1992, Masjid Raya Baiturrahman diperluas lagi menjadi tujuh kubah dan lima menara dengan luas 3.500 m2, dan tanah di bagian halaman depan dibebaskan seluas 16.070 m2 dengan biaya sebesar 1.2 M. Di halaman depan didirikan menara utama dengan ketinggian 53 meter.

– Pada tahun 2004, masjid ini juga mengalami renovasi besar-besaran setelah terkena dampak dari gempa bumi dan tsunami.

Dengan sejarah dan perkembangan yang dimilikinya, Masjid Raya Baiturrahman menjadi salah satu masjid terpenting dan terkenal di Indonesia, serta menjadi tempat bersejarah bagi masyarakat Aceh dan Indonesia.

Masjid Raya Baiturrahman Saat Tsunami 2004

Masjid Bersejarah di Indonesia - Chapter Aceh
Source : Getty-Images-Ulet-Ifansasti

Masjid Raya Baiturrahman sendiri merupakan simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan, dan nasionalisme rakyat Aceh. Masjid ini telah menjadi landmark Banda Aceh sejak zaman Kesultanan Aceh dan mampu bertahan dari bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Gempa bumi dan tsunami yang sangat dahsyat menerjang Aceh dan Masjid Raya Baiturrahman menjadi saksi bisu dari bencana tersebut.

Tsunami tersebut diawali dengan gempa bumi berkekuatan 9,3 skala richter, dengan tinggi gelombang diperkirakan mencapai 30 meter. Dalam hitungan beberapa menit, gelombang yang sangat tinggi langsung meratakan kawasan pantai dan pemukiman. Diperkirakan kecepatan gelombang tsunami Aceh mencapai 360 kilometer per jam atau sekitar 100 meter per detik.

Menurut Wikipedia, salah satu daerah yang paling parah terdampak tsunami di Aceh adalah Ulee Lheue, di mana hampir tidak ada bangunan yang selamat dari terjangan gelombang tsunami yang sangat dahsyat hingga ke pusat kota Banda Aceh. Namun, mesjid ini tetap berdiri kokoh meski bangunan di sekitarnya hancur akibat bencana yang terjadi 17 tahun yang lalu. Mesjid ini juga menjadi tempat berlindung bagi warga Aceh saat mereka menyelamatkan diri dari gulungan ombak tsunami.

Masjid Bersejarah di Indonesia - Chapter Aceh
Source : Getty-Images-Ulet-Ifansasti

Masjid Raya Baiturrahman Saat Ini

Masjid Raya Baiturrahman terletak di atas lahan seluas 31.000 meter persegi dengan luas bangunan sekitar 4.000 meter persegi, mampu menampung sekitar 13 ribu jemaah. Jika digabungkan dengan halaman, masjid ini dapat menampung hingga 30 ribu jemaah.

Proses renovasi pasca-tsunami membutuhkan dana sebesar Rp20 miliar, dana tersebut didapat dari bantuan dunia internasional, termasuk Saudi Charity Campaign. Proses renovasi selesai pada tanggal 15 Januari 2008. Saat ini, Masjid Raya Baiturrahman menjadi pusat pengembangan aktivitas keislaman bagi masyarakat Banda Aceh.

Masjid Bersejarah di Indonesia - Chapter Aceh
Pixabay.com-zulmahdi

Dengan pembangunan lanskap, infrastruktur, dan perluasan area masjid, diharapkan akan semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke Masjid Baiturrahman pada masa mendatang. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan lanskap baru Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada Sabtu, 13 Mei 2017.

Kini, mesjid ini telah dilengkapi dengan payung raksasa yang berdiameter 12 meter di pelatarannya dan menara menjulang cukup tinggi yang menambah kesan megah pada bangunan tersebut. Menara ini setinggi 84 meter. Di sisi depan mesjid, terdapat lima kubah berwarna hitam, menambah kesan arsitektur Islam yang memang terkenal dengan bangunan kubah yang megah.

Wisatawan yang berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman terus meningkat setiap tahunnya. Masjid Baiturrahman merupakan titik penting bertemunya umat Islam di Aceh. Banyak kegiatan penting yang telah dilaksanakan di tempat ini, namun arsitektur mesjid masih tetap terjaga. Bangunan utamanya tetap berdiri bahkan setelah terdampak tsunami. Pada sore hari, banyak pengunjung yang bersantai di pelataran mesjid dan menunggu waktu magrib sambil menikmati udara sore. Anak-anak terlihat bermain di depan mesjid sambil berswafoto.

Sejarah Masjid Baiturrahman
Source : getlost.id

Kawasan masjid ini juga dijadikan kawasan syariat Islam, sehingga sebaiknya kita menjaga dan tidak mengotorinya dengan perbuatan-perbuatan yang melecehkan masjid atau melanggar syariat Islam. Untuk wanita yang ingin masuk ke dalam masjid, tidak cukup hanya dengan memakai kerudung, tetapi juga harus mengenakan rok atau celana panjang yang longgar agar penjaga masjid tidak memiliki alasan untuk menolak masuk ke dalam masjid yang indah ini.

Mereka yang memakai pakaian ketat atau celana jeans tidak akan diperbolehkan masuk. Sedangkan untuk para pria, mereka harus mengenakan atasan yang menutupi lengan dan celana panjang.

Masjid ini bukan hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai penanda sejarah, simbol perjuangan, dan jendela kekayaan budaya Aceh. Dengan arsitektur megahnya dan kisah panjangnya, Masjid Raya Baiturrahman mengingatkan kita akan warisan berharga yang perlu dilestarikan. Semoga artikel ini telah memberikan Anda wawasan lebih dalam tentang nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam masjid bersejarah ini, dan menginspirasi Anda untuk menjelajahi lebih banyak lagi masjid bersejarah di Indonesia.


  • Referensi:
    Masjid Bersejarah di Nanggore Aceh
    Diterbitkan Oleh: Bidang Pendidikan Agama Islam Pada Masyarakat dan Pemberdayaan
    Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Aceh 2009